Photobucket

Rabu, 09 Februari 2011

RAHASIA DI BALIK BULAN ASYURA

Dalam
sejarah Islam, Muharam memiliki
tradisi panjang sebagai sebagai
salah satu bulan suci. Ada
banyak peristiwa penting yang
terjadi di bulan ini, di antaranya:
Dijadikannya 1 Muharam sebagai
awal penanggalan Islam oleh
Khalifah Umar bin Khathab,
pemindahan arah kiblat dari
Jerussalem ke Mekah pada 16
Muharam, dan terbunuhnya cucu
kesayangan Rasulullah, Imam
Husein bin Ali di Karbala pada
tahun 81 H/680 M.
Kasus terakhir ini menimbulkan
duka mendalam bagi penganut
Syiah. Terbunuhnya Imam
Husein oleh pasukan Yazid bin
Muawiyyah pada bulan
Muharam, melahirkan sebuah
kepercayaan baru dikalangan
Syiah, yang menganggap
Muharam sebagai bulan
kesedihan dan bulan sial. Dalam
perkembangan selanjutnya,
penganut Syiah menciptakan
ritual-ritual khusus untuk
memperingati tragedi Karbala,
berupa majelis-majelis ratapan
yang berpuncak pada 10
Muharam (10 Asyura), tepat di
hari wafatnya Imam Husein.
Entah mengapa keyakinan
seperti ini kemudian berimbas
pula pada sebagian penganut
Sunni termasuk di Indonesia
yang menganggap bulan
Muharam adalah bulan keramat
yang sekaligus bulan kesialan,
sehingga banyak melahirkan
praktik-praktik khurafat dan
bid’ah.
Padahal, menurut hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim dikatakan bahwa
pada mulanya Rasulullah saw
mempercayai keterangan orang
Yahudi bahwa hari Asyura
(dalam tradisi Arab disebut
“Asyura” pula), yakni tangal 1
Bulan Tishri, adalah “yaumun
shalihun.” Jadi, hari yang
tertanggal tersebut bukanlah
hari sial, bahkan disebut “hari
yang baik” (yaumun shalihun).
Justru, pada hari itu dianggap
sebagai salah satu hari “penebus
dosa” dengan cara berpuasa.
Ajaran Islam sendiri sangat
memuliakan bulan ini, bahkan
Allah melarang berperang, saling
membunuh, dan merusak syiar-
syiar Islam pada bulan ini (lihat
QS. Al Maidah: 2). Kata Muharam
sendiri berarti “yang
diharamkan.” Artinya, pada
bulan ini orang-orang Arab
jahiliyah menghentikan semua
peperangan yang dilakukannya.
Kesucian Bulan Muharam juga
dipandang berhubungan dengan
tradisi orang-orang Yahudi,
khususnya tradisi hari Assyura
Dalam agama Yahudi, ada satu
hari yang dipandang bernilai
rohaniah dan sangat
diagungkan,yaitu hari Yom
Kippur (Hari Penebusan Dosa).
Istilah ini dari bahasa Ibrani,
“yom” (yaumun, bahasa Arab)
yang berarti “hari” dan
“kippur” (dari kata Ibrani
“kuppar”) yang berarti
“perdamaian”. Hari ini
merupakan salah satu hari suci
yang paling dikeramatkan
orang-orang Yahudi.
Hari Yom Kippur itu jatuh pada
hari kesepuluh dalam bulan ke-7
(yang disebut bulan Tishri)
dalam agama Yahudi. Istilah
“Hari Kesepuluh” (The Tenth) ini
dalam bahasa Yahudi-Aram
(Hebrew-Aramic) disebut
“Asyura.” Pada hari ini, orang-
orang Yahudi melakukan
persembahyangan dan puasa.
Mereka yakin bahwa pada hari
inilah mereka diberi kesempatan
oleh Tuhan untuk
menghapuskan dosa mereka
yang dilakukan selama setahun
sebelumnya. Dalam kesempatan
ini mereka berkunjung antar
keluarga, antar sahabat dan
tetangga untuk saling memohon
maaf.
Dalam Serat Widya Pradana
(karangan R. Ng.
Ranggawarsita) dikatakan
bahwa untuk memperkenalkan
kalender Islam di kalangan
masyarakat Jawa, maka
bertepatan dengan tahun 931 H
atau 1400 tahun Saka, atau
1443 tahun Jawa baru, yaitu
pada jaman pemerintahan
kerajaan Demak, Sunan Giri II
telah membuat penyesuaian
antara sistem kalender Hirjiyah
dengan sistem kalender Jawa
pada waktu itu. Caranya adalah
menggabungkan hari tujuh
Hijriyah dengan hari kelima
(tepatnya hari lima atau
pancawara). Sebelum ada hari
tujuh Islam (Itsnain, Tsulatsa’,
Arba’a, Khamis, Jum’ah, Sabt dan
Ahad) ada hari tujuh lama (Soma,
Anggara, Budha, Respati, Sukra,
Tumpak dan Radite). Adapun
pancawara tetap dipakai tidak
diganti. Pancawara itu meliputi:
legi (manis), pahing (merah), pon
(kuning), wage (hitam), dan
kliwon (asih atau kasih). Karena
perangkapan atau
penggabungan ini (hari tujuh
Islam dengan pancawara), maka
dikenallah hitungan selapan (35
hari) dalam setiap bulan.
Penggabungan kalender
tersebut, untuk sebagian orang,
diduga sebagai salah satu
strategi untuk merukunkan dua
varian, yang menurut Clifford
Geertz disebut “Islam santri” dan
“Islam abangan.” Waktu itu,
Sultan Agung menginginkan
persatuan rakyatnya untuk
menggempur Belanda di Batavia,
termasuk ingin “menyatukan
Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia
ingin rakyatnya tidak terbelah,
apalagi disebabkan keyakinan
agama. Sultan Agung
Harnyokrokusumo ingin
merangkul dua varian tersebut.
Pada setiap hari Jumat legi,
Sultan Agung menjadikan dina
paseban (hari pertemuan resmi)
sebagai pelaporan pemerintahan
daerah-daerah kepada keraton
secara resmi. Sementara itu,
untuk daerah Timur, pada hari
yang sama (Jumat legi)
dilakukan juga laporan
pemerintahan setempat sambil
dilakukan pengajian yang
dilakukan oleh para penghulu
kabupaten, sekaligus dilakukan
ziarah kubur dan haul (kalau
tepat waktu) ke makam
Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1
Muharram (1 Suro Jawa) yang
dimulai pada hari Jumat legi ikut-
ikut dikeramatkan pula, bahkan
dianggap sial kalau ada orang
yang memanfaatkan hari
tersebut diluar kepentingan
mengaji, ziarah, dan haul.
Source Solusi Hidup Kaya
By Majalah Misteri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar