Photobucket

Rabu, 09 Februari 2011

MERAIH KEMENANGAN DENGAN KEKUATAN DO'A

Saat ini manusia hidup dalam
suasana materialisme. Maksud
dari materialisme di sini adalah
bahwa manusia modern saat ini
meletakkan faktor-faktor yang
tertangkap oleh akal dan panca
indera sebagai faktor penting
dalam kehidupan mereka. Segala
keputusan mereka selalu
mempertimbangkan hal-hal yang
bersifat materi ini. Baru ketika
faktor-faktor materi ini hilang,
mereka mulai menengok cara-
cara pemecahan masalah melalui
pendekatan spiritual atau
kerohanian. Misalnya melalui
doa, istighotsah, istikharah atau
lelaku spiritual lainnya.
Walaupun demikian, mereka ini
masih mending. Hal ini karena
sebagian besar masyarakat
modern ini meletakkan faktor-
faktor fisik sebagai satu-
satunya alat dan pertimbangan
dalam menanggapi
permasalahan kehidupan. Ketika
faktor-faktor ini tidak mereka
dapatkan, mereka menjadi putus
asa. Bahkan tak jarang
keputusasaan ini menimbulkan
berbagai penyimpangan
kejiwaan. Seperti depresi, shock
atau bahkan bisa mengarah
kepada tindak bunuh diri.
Dan ternyata keadaan ini banyak
terjadi di berbagai negara yang
secara fisik maju. Di negara-
negara yang saat ini menjadi
kiblat kemajuan materi, seperti
Amerika atau Jepang, bunuh diri
telah menjadi penyakit sosial
yang cukup serius. Dan hal ini
bukan hanya menimpa kalangan
rakyat jelata. Bahkan hingga
menimpa kalangan super elit.
Di Jepang misalnya, pada awal
2007 ini publik dikejutkan oleh
tindakan bunuh diri oleh Menteri
Perdagangan Jepang. Beberapa
tahun sebelumnya, sekitar tahun
2000-an, masyarakat Indonesia
dikejutkan oleh bunuh diri yang
dilakukan oleh salah seorang
konglomerat nasional, Marimutu
Marimaren. Jika kita menarik
lebih ke belakang lagi, peristiwa
bunuh diri di kalangan elit sudah
bukan asing lagi. Di era tahun
60-an, masyarakat dikejutkan
oleh bunuh diri yang dilakukan
oleh salah seorang super star
Amerika, Merlyn Monroe.
Berbagai peristiwa ini menjadi
petunjuk kuat bahwa
memandang faktor materi
sebagai satu-satunya rujukan
dalam kehidupan akan
membawa petaka bagi manusia.
KEDUDUKAN DOA DALAM ISLAM
Dalam Islam, Allah memandang
segala permasalahan secara adil.
Aspek-aspek fisik dan aspek-
aspek ruhani mendapat
perhatian yang berimbang. Islam
sangat memperhatikan aspek
fisik ini dalam kehidupan, hingga
Allah berfirman: “Dan
bersungguh-sungguhlah kalian
(berjihadlah kalian) dengan
harta dan diri kalian. ” (QS. Al
An’am:72). Dalam sebuah
haditsnya, Rasulullah SAW
bersabda: “Seorang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai Allah daripada mukmin
yang lemah dalam semua
bidang. ”
Walaupun demikian, Allah juga
membimbing kaum Muslimin
untuk menggunakan potensi
doa secara maksimal. Allah
menantang hamba-Nya untuk
meminta, sebagaimana dalam
firman-Nya:
“Dan Tuhanmu berfirman:
Berdoalah kalian, maka Aku akan
mengabulkan doa untuk
kalian. ” (QS. Al Mukmin:60).
Bukan hanya sampai di sini.
Dalam pandangan Rasulullah
SAW, doa bahkan menempati
kedudukan yang paling inti
dalam agama. Dalam sebuah
haditsnya, Rasulullah SAW
bersabda:
“Doa adalah intisari ibadah.” (HR.
Tirmidzi/Shahih).
Ada beberapa hal yang kurang
lebih melatarbelakangi sabda ini.
Pertama adalah bahwa seorang
yang berdoa berarti meyakini
adanya Allah. Artinya, ketika
seseorang itu berdoa, berarti
ada keimanan di dalam hatinya.
Tidak mungkin orang yang tidak
meyakini adanya Allah akan
berdoa. Karena bagi mereka
yang tidak meyakini adanya
Allah, untuk apa memohon
pertolongan dengan sesuatu
yang tidak nyata. Atau lebih
ekstrim lagi adalah, untuk apa
seseorang berdoa kepada
sesuatu yang tidak ada.
Kedua, ketika seseorang berdoa,
berarti ia meyakini sifat-sifat
Allah SWT. Ia meyakini bahwa
Allah adalah Tuhan Yang Maha
Mendengar. Karena itu ia
memohon dengan kata-kata. Ia
meyakini bahwa Allah bersifat
Welas Asih. Karena itu, seorang
pendoa tidak pesimis dari Allah.
Hatinya senantiasa penuh harap
kepada Allah.
Ketiga, seseorang yang berdoa
berarti mengakui keterbatasan
kekuatannya. Bahkan bagi
kalangan yang lebih tinggi lagi
tingkatan spiritualnya, berdoa
berarti pengakuan atas
ketidakberdayaan total pada
dirinya. Ia meyakini bahwa
kekuatan dan kekuasaan
hanyalah milik Allah semata.
Hingga ia merasa tidak lagi
membutuhkan siapa pun, kecual
Allah SWT. Ini adalah tingkat
spiritualitas yang sangat tinggi
dalam Islam.
Dari ketiga hal di atas, dapat
diketahui bahwa doa
merupakan salam satu ciri khas
seorang mukmin. Kehidupannya
selalu merupakan keseimbangan
antara upaya lahiriyah dan doa.
Dengan demikian, seluruh
potensi hidupnya lahir dan batin
dapat ia pergunakan secara total
dan sempurna.
ANTARA DOA DAN RIDHO
Ada dua hal yang diajarkan Islam
yang kelihatannya berlawanan,
yaitu ridho dan doa. Ridho
artinya seseorang itu menerima
apapun pemberian Allah pada
dirinya. Hal ini muncul karena
seorang mukmin akan
senantiasa memandang Allah
sebagai Tuhan Yang Maha
Bijaksana (Al Hakiim), Maha
Mencintai Hamba-Nya (Al
Waduud) dan Maha Pengasih
Penyayang (Rahmaan Rahiim).
Karena itu, bagi penilaian
sebagian orang, sangat tidak
patut jika seseorang memprotes
keputusan Allah dengan berdoa.
Bukankan doa pada dasarnya
adalah meminta? Dan ketika
meminta, berarti seseorang
memandang bahwa pemberian
Allah itu kurang? Atau bisa juga
berarti bahwa keputusan Allah
itu tidak bijaksana? Hingga bagi
kelompok itu, ridho lebih baik
dari pada doa.
Sebagian lain mengatakan
bahwa doa lebih baik daripada
diam dengan alasan ridho. Hal ini
karena doa adalah perilaku para
hamba pilihan Allah. Para ulama ’,
orang-orang shaleh dari masa ke
masa, para Nabi dan Rasul,
bahkan hingga manusia yang
paling sempurna, Rasulullah SAW
masih berdoa. Padahal mereka
adalah makhluk Allah yang
utama dan terbaik. Bukan hanya
itu saja. Allah Ta ’ala dan
Rasulullah SAW memerintahkan
manusia untuk berdoa. Lantas,
pantaskah seseorang tidak
berdoa kepada Allah? Patutkah
dengan berbagai kenyataan
seperti ini jika kemudian
seseorang meninggalkan doa?
Sebenarnya, antara doa dan
ridho adalah dua hal yang tidak
perlu dipertentangkan.
Sebagaimana pertentangan
antara hitam dan putih, atau
pertentangan antara siang dan
malam. Seseorang yang ridho
bukan berarti harus
meninggalkan doa. Sebaliknya
pun demikian juga. Seseorang
yang berdoa bukan berarti ia
tidak ridho. Hal ini karena doa
dan ridho memiliki wilayah yang
berbeda.
Seseorang memang harus ridho
dengan ketetapan Allah, baik
yang sudah lewat atau yang
akan datang. Karena
bagaimanapun juga, ketetapan
dan pilihan Allah pasti lebih baik
daripada ketetapan dan pilihan
manusia. Namun perlu juga
diingat, bahwa doa adalah
perintah Allah. Dan pelaksanaan
perintah Allah harus menjadi
prioritas seorang mukmin. Di
samping doa juga merupakan
sunnah (tradisi) Rasulullah SAW.
Dan melaksanakan sunnah
Rasulullah SAW juga merupakan
perintah Allah.
Karena itulah, seseorang yang
berdoa seharusnya lebih
memfokuskan diri pada niat
menanti perintah Allah (Lillah).
Tegasnya, ia berdoa adalah
semata-mata karena
melaksanakan perintah Allah
untuk berdoa. Apapun hasil dari
doa itu, semuanya ia serahkan
kepada Allah. Apakah Allah akan
memberinya sebagaimana
redaksi doa yang ia ucapkan,
atau Allah memberi dalam
bentuk lain, semua itu akan ia
terima dengan penuh ridho
kepada Allah.
ADAB-ADAB DALAM BERDOA
Seseorang yang berdoa berarti
ia sedang melakukan hubungan
dengan Allah SWT. Sudah tentu
ada aturan main agar
hubungannya dengan Allah
tersebut membuahkan hasil
sebagaimana yang ia dambakan.
Dalam hal ini, ada beberapa hal
yang dapat mempercepat
terkabulnya sebuah doa.
Pertama, seorang pendoa
hendaklah memperhatikan
benar-benar waktu-waktu yang
mustajabah (waktu-waktu
istimewa dimana doa
dikabulkan). Seperti hari Arofah,
bulan Ramadhan, hari Jum’at
terutama saat Khatib duduk di
antara dua khutbab, dan waktu
sahur. Ini adalah waktu-waktu
istimewa dimana doa dikabulkan
berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah SAW.
Kedua, seorang yang ingin
doanya dikabulkan, hendaklah
memanfaatkan keadaan-
keadaan istimewa dimana
sebuah doa dikabulkan. Misalnya,
saat peperangan akan dimulai,
saat turun hujan, saat seseorang
berpuasa atau waktu antara
adzan dan iqomat.
Ketiga, berdoa dengan
menghadap kiblat dengan
mengangkat kedua tangan
hingga kira-kira ketiak kelihatan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Hidup lagi
Dermawan. Ia malu jika hamba-
Nya berdoa sambil mengangkat
tangan memohon kepada-Nya,
kemudian menolaknya sama
sekali ” (HR. Al Hakim/Shahih).
Keempat, merendahkan suara
antara samar dan keras.
Rasulullah SAW bersabda,
“ Wahai manusia, sesungguhnya
Dia (Allah) yang engkau doa
bukanlah Tuhan yang tuli dan
jauh. Sesungguhnya Dia (Dia)
Allah yang engkau doa berada di
hadapan kalian ….” (HR. Bukhari).
Kelima, tidak memaksakan diri
berdoa dengan redaksi yang
bernilai sastra jika hal ini
menimbulkan
kekurangkhusyuan berdoa.
Berdoa dengan sastra yang baik
hendaknya muncul sebagai
suatu spontanitas. Bukan
dibuat-buat. Dalam hal ini,
Rasulullah SAW bersabda,
“ Jagalah kalian dari memaksakan
diri bersajak didalam
berdoa. ” (HR. Bukhari).
Keenam, merasa rendah hati dan
hina sehina-hinanya (tadzallul),
merasa seperti benar-benar di
hadapan Allah wa Rasulihi SAW
(istidlor), merasa berlarut-larut
penuh dosa (tadhollum), penuh
sesal atas dosa-dosa yang
dilakukan (inkisar), khusyu’,
penuh harap atas pertolongan
Allah (iftiqor) dan penuh
perasaan takut kepada-Nya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah,
“ Memohonlah kalian kepada
Tuhan kalian dengan
tadhorru ’ (merendah)….” (QS. Al
A’raaf: 54).
Dalam sebuah haditsnya
Rasulullah SAW memberi
peringatan:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak
menerima doa dari hati yang
lupa. ” (HR. Tirmidzi dan Al
Hakim).
Sebagian Aulia juga mengatakan:
“Fadlol-Nya Allah (termasuk
maghfirah, taufiq, hidayah,
inayah, rahmat dan sebagainya)
tidak akan diberikan kecuali
kepada hati yang sungguh-
sungguh ‘nelongso’ merasa
penuh dosa dan sangat
mengharap pertolongan
Allah. ” (Taqribul Ushul: 217).
“Menghadap (termasuk berdoa)
kepada Allah dan berwasilah
dengan Rasulullah SAW dengan
sungguh-sungguh tadzallul,
merasa hina, ‘nelongso’ merasa
penuh dosa dan sangat
mengharap pertolongan Allah
serta merasa tidak punya daya
dan kekuatan, adalah pangkal
segala kebaikan dunia dan
akhirat. ” (Taqribul Ushul: 156).
Ketujuh, jangan berdoa disertai
dengan sikap pesimis/tidak
yakin dengan pertolongan Allah.
Seseorang yang ingin doanya
dikabulkan haruslah yakin
bahwa doanya akan dikabulkan.
Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah
berfirman:
“Aku sebagaimana prasangka
hamba-Ku.”
Dalam sebuah haditsnya,
Rasulullah SAW juga pernah
bersabda:
“Jika kamu berdoa, maka
yakinlah doamu itu pasti
diijabah. ” (Riwayat dari Abi
Hurairoh).
Artinya adalah jika kita yakin
doa kita dikabulkan, maka Allah
pun akan mengabulkan doa
tersebut. Sebaliknya, jika
seseorang tidak yakin bahwa
doanya tidak dikabulkan, maka
Allah pun juga tidak
mengabulkan doanya.
Kedelapan, hendaknya tidak
menganggap terlambat
datangnya pertolongan Allah.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW
bersabda, “Doa kalian pasti
dikabulkan selama kalian tidak
tergesa-gesa. Yaitu ia
mengatakan, aku sudah berdoa
tapi tidak dikabulkan. Ketika
engkau berdoa, maka berdoalah
yang banyak karena
sesungguhnya kalian meminta
kepada Tuhan Yang Maha
Dermawan. ” (HR. Bukhari/
Shahih). Bahkan hendaknya
ketika doa belum dikabulkan,
seorang hamba tetap terus
menerus berdoa dengan
berulang-ulang (ngengkel dalam
bahasa Jawa). Rasulullah SAW
ketika berdoa pun juga
mengulang-ulang hingga tiga
kali. Dalam sebuah haditsnya,
beliau bersabda, ”Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang
terus mendesak (ngengkel)
dalam berdoa. ” (HR. Suyuthi/
Shahih).
Kesembilan, doa itu hendaknya
diawali dengan memuji asma
Allah dan bershalawat kepada
Rasulullah SAW. Hal ini
sebagaimana hadits:
“Doa segala macamnya itu
terhijab/terhalang, hingga
permulaannya berupa pujian
kepada Allah Azza wa Jalla dan
shalawat kepada Nabi SAW,
kemudian berdoa, maka doa itu
diijabahi. ” (HR. Imam Nasa’i).
Kesepuluh, bertaubat terlebih
dahulu dengan beristighfar
kepada Allah dan menghentikan
kedzaliman serta
mengembalikan hasil
kedzalimannya kepada
pemiliknya. Jangan sampai
seseorang berdoa, sementara
makanannya makanan haram
atau pakaiannya yang berasal
dari harta yang haram.
Dalam kehidupan sehari-hari,
seringkali kita berusaha
memecahkan masalah dengan
memohon kepada Allah Ta ’ala
dalam bentuk berbagai redaksi
doa. Dan setelah doa kita baca
berulang-ulang, seringkali
berbagai masalah tersebut
bukannya terpecahkan, malah
semakin menjadi-jadi.
Bila seseorang menghadapi
keadaan seperti ini, sebelum
berpikiran negatif yang macam-
macam, sebaiknya direnungkan
terlebih dahulu rizki yang dia
dapatkan. Apakah dari praktek
yang halal atau dari praktek
yang haram. Sebab Rasululah
SAW bersabda,
“Banyak orang yang berambut
acak-acakan, berdebu dan
ditolak oelh manusia dalam
perjalanannya (mungkin karena
tirakat atau memang pada posisi
sebagai orang tertindas),
makanannya sesuatu yang
haram, pakaiannya dari rizki
yang haram, diberi makan dari
sumber yang haram. Dia
mengangkat tangannya sambil
berdoa: ‘Yaa Robb, Yaa Robb.’
Bagaimana orang seperti ini
dikabulkan doanya karena hal
yang demikan itu ?” (HR. Muslim).
DAPATKAH DOA MERUBAH NASIB?
Nas-nas Al Quran dan sunnah
menunukkan bahwa tidak ada
satupun kejadian di jagat raya
ini yang di luar skenario dan
kendali Allah SWT. Dalam hal ini
Allah berfirman:
“Dan di sisi-Nya kunci-kunci
keghaiban yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Ia (Allah).
Dan ia mengetahui apa yang ada
di darat, dan di laut. Dan tidaklah
daun apa saja yang gugur
kecuali Allah mengetahuinya.
Dan tidak juga gugur sebuah biji
dalam kegelapan bumi, dan tidak
pula yang basah atau kering
(gugur) kecuali semua itu telah
ada dalam kitab yang nyata
(Lauhil Mahfudz). ” (QS. Al An’am:
59).
Dalam menafsiri ayat ini,
Abdullah bin Abbas RA berkata,
” Allah menciptakan tinta dan
papan. Maka Allah menuliskan di
dalamnya perkara dunia hingga
apa yang terakhir dari
penciptaan makhluk, rizki yang
halal, rizki yang haram , amal
yang baik atau
kedurhakaan.” (Tafsir Ibnu
Katsir/II/168). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa apapun
yang terjadi pada makhluk, baik
itu besar atau kecil, sedikit atau
banyak, semua telah ditentukan
oleh Allah SWT.
Kedudukan doa di sini adalah
bahwa seseorang berdoa
memang bukan bertujuan untuk
merubah nasibnya. Karena nasib
yang telah ditentukan Allah
tidak bisa dirubah oleh siapapun.
Bahkan doa itu sendiri juga
merupakan bagian dari nasib.
Sekali lagi, seseorang yang
berdoa seharusnya meniatkan
doanya sebagai ketaatan
terhadap perintah Allah untuk
berdoa. Bukan keinginan yang
lain-lain.
Walaupun demikian, keberadaan
sebuah doa bukan berarti kesia-
siaan. Sebab, doa juga
merupakan tanda-tanda
datangnya pertolongan Allah
SWT. Sebagaimana adanya
mendung di langit, menjadi
isyarat akan turun hujan. Atau
sebagaimana terbitnya fajar
pagi, menjadi isyarat akan
terbitnya matahari. Baukankah
Allah berjanji akan mengabulkan
doa hamba-hambaNya?
Sebaliknya, keengganan
seseorang untuk berdoa juga
merupakan isyarat akan
tertutupnya seseorang dari
pertolongan Allah SWT. Dan Allah
juga berjanji tidak akan
mengingkari janji-Nya. Dari sini
dapat disimpulkan, bahwa
mereka yang oleh Allah
diberikan ilham untuk berdoa,
pastilah Allah telah
menggariskan untuknya
anugerah sebagaimana Allah
janjikan. Seperti ungkapan
seorang penyair Arab:
Andaikan Engkau tidak
menghendaki
Tercapainya apa yang aku harap
dan aku cari,
yaitu anugerah-anugerah dari
kedermawanan-Mu
maka engkau tentu tidak
mengilhamkan aku untuk
berdoa kepada-Mu.
Ketika Anda berdoa, sebenarnya
saat itu anugerah-anugerah
Allah sudah disiapkan untuk
Anda. Jadi untuk apa berputus
asa. Ayo, teruslah berdoa ….!! (Zk)
Diambil dari Majalah AHAM EDISI
74 | TH.IX | DZULQO ’DAH 1428

Tidak ada komentar:

Posting Komentar