Photobucket

Minggu, 16 Januari 2011

MENGUNGKAP JATI DIRI SYEIKH SITI JENAR

Merajut sebuah ilmu dan
menjadikannya sehelai kain
yang didalamnya penuh akan
keindahan corak dan warna,
inilah yang diidamkan seluruh
ahli sufi. Rajutan demi rajutan
tentang segala pemahaman ilmu,
penghayatan dan keluasan
tentang segala kebesaran Alloh,
perjalanan dan pengorbanan
yang selalu dilakoninnya sedari
kecil, membuat segala macam
ilmu yang ada padanya,
menjadikannya derajat seorang
waliyulloh kamil.
Dalam pandangan para
waliyulloh, dimana badan telah
tersirat asma ’ Alloh dan segala
tetesan darahnya telah mengalir
kalimat tauhid, dimana setiap
detak jantung selalu
menyerukan keagunganNya dan
setiap pandangan matanya
mengandung makna tafakkur,
tiada lain orang itu adalah
seorang waliyulloh agung yang
mana jasad dan ruhaniyahnya
telah menyatu dengan dzat
Alloh. Inilah sanjungan yang
dilontarkan oleh seluruh bangsa
wali kala itu pada sosok, kanjeng
Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang
tersiram didalam tubuhnya, ilmu
yang tersirat disetiap desiran
nafasnya, pengetahuan tentang
segala makna ketauhidan yang
bersemayam didalam akal dan
hatinya, membuat kanjeng
Syeikh Siti Jenar menjadi
seorang guru para wali.
Lewat kezuhudan yang beliau
miliki serta keluasan ilmu yang
dia terapkan, membuat segala
pengetahuannya selalu dijadikan
contoh. Beliau benar benar
seorang guru agung dalam
mengembangkan sebuah
dhaukiyah kewaliyan/tentang
segala pemahaman ilmu
kewaliyan. Tak heran bila kala itu
banyak bermunculan para
waliyulloh lewat ajaran ilafi
yang dimilikinya.
Diantara beberapa nama santri
beliau yang hingga akhir
hayatnya telah sampai kepuncak
derajat waliyulloh kamil, salah
satunya, sunan Kali Jaga, raden
Fatah, kibuyut Trusmi, kigede
Plumbon, kigede Arjawinangun,
pangeran Arya Kemuning,
kiageng Demak Purwa Sari, ratu
Ilir Pangabean, gusti agung Arya
diningrat Caruban, Pangeran
Paksi Antas Angin, sunan Muria,
tubagus sulthan Hasanuddin,
kiAgeng Bimantoro Jati,
kiSubang Arya palantungan dan
kigede Tegal gubug.
Seiring perjalanannya sebagai
guru para wali, syeikh Siti Jenar
mulai menyudahi segala aktifitas
mengajarnya tatkala, Syarief
Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati,
telah tiba dikota Cirebon. Bahkan
dalam hal ini bukan hanya beliau
yang menyudahi aktifitas
mengajar pada saat itu,
dedengkot wali Jawa, sunan
Ampel dan sunan Giri juga
mengakhirinya pula.
Mereka semua ta’dzim
watahriman/ menghormati
derajat yang lebih diagungkan,
atas datangnya seorang Quthbul
muthlak/ raja wali sedunia pada
zaman tersebut, yaitu dengan
adanya Syarief Hidayatulloh,
yang sudah menetap dibumi
tanah Jawa.
Sejak saat itu pula semua wali
sejawa dwipa, mulai
berbondong ngalaf ilmu datang
kekota Cirebon, mereka jauh
jauh sudah sangat
mendambakan kedatangan,
Syarief Hidayatulloh, yang
ditunjuk langsung oleh,
rosululloh SAW, menjadi sulthan
semua mahluk ( Quthbul
muthlak )
Nah, sebelum di kupas tuntas
tentang jati diri, syeikh Siti Jenar,
tentunya kita agak merasa
bingung tentang jati diri, Syarief
Hidayatulloh, yang barusan
dibedarkan tadi. "Mengapa
Syarief Hidayatulloh kala itu
sangat disanjung oleh seluruh
bangsa wali ?".
Dalam tarap kewaliyan, semua
para waliyulloh, tanpa terkecuali
mereka semua sudah sangat
memahami akan segala
tingkatan yang ada pada
dirinya. Dan dalam tingkatan ini
tidak satupun dari mereka yang
tidak tahu, akan segala derajat
yang dimiliki oleh wali lainnya.
Semua ini karena Alloh SWT, jauh
jauh telah memberi hawatief
pada setiap diri para waliyulloh,
tentang segala hal yang
menyangkut derajat kewaliyan
seseorang.
Nah, sebagai pemahaman yang
lebih jelas, dimana Alloh SWT,
menunjuk seseorang
menjadikannya derajat
waliyulloh, maka pada waktu
yang bersamaan, nabiyulloh,
Hidir AS, yang diutus langsung
oleh malaikat, Jibril AS, akan
mengabarkannya kepada
seluruh para waliyulloh lainnya
tentang pengangkatan wali
yang barusan ditunjuk tadi
sekaligus dengan derajat yang
diembannya.
Disini akan dituliskan tingkatan
derajat kewaliyan seseorang,
dimulai dari tingkat yang paling
atas. "Quthbul muthlak- Athman-
Arba ’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’
– Nujaba’ – Abdal- dan
seterusnya". Nah dari
pembedaran ini wajar bila saat
itu seluruh wali Jawa
berbondong datang ngalaf ilmu
ketanah Cirebon, karena tak lain
didaerah tersebut telah
bersemayam seorang derajat,
Quthbul muthlak, yang sangat
dimulyakan akan derajat dan
pemahaman ilmunya.
Kembali kecerita syeikh Siti
Jenar, sejak adanya, Syarief
Hidayatulloh, yang telah
memegang penting dalam
peranan kewaliyan, hampir
seluruh wali kala itu belajar arti
ma’rifat kepadanya, diantara
salah satunya adalah, syeikh Siti
Jenar sendiri.
Empat tahun para wali ikut
bersamanya dalam “Husnul ilmi
Al kamil"/ menyempurnakan
segala pemahaman ilmu, dan
setelah itu, Syarief Hidayulloh,
menyarankan pada seluruh para
wali untuk kembali ketempat
asalnya masing masing. Mereka
diwajibkan untuk membuka
kembali pengajian secara umum
sebagai syiar islam secara
menyeluruh.
Tentunya empat tahun bukan
waktu yang sedikit bagi para
wali kala itu, mereka telah
menemukan jati diri ilmu yang
sesungguhnya lewat keluasan
yang diajarkan oleh seorang
derajat, Quthbul mutlak.
Sehingga dengan kematangan
yang mereka peroleh, tidak
semua dari mereka membuka
kembali pesanggrahannya.
Banyak diantara mereka yang
setelah mendapat pelajaran dari,
Syarief Hidayatulloh, segala
kecintaan ilmunya lebih
diarahkan kesifat, Hubbulloh/
hanya cinta dan ingat kepada
Alloh semata. Hal seperti ini
terjadi dibeberapa pribadi para
wali kala itu, diantaranya; syeikh
Siti Jenar, sunan Kali Jaga,
sulthan Hasanuddin Banten,
pangeran Panjunan, pangeran
Kejaksan dan Syeikh Magelung
Sakti.
Mereka lebih memilih hidup
menyendiri dalam kecintaannya
terhadap Dzat Alloh SWT,
sehingga dengan cara yang
mereka lakukan menjadikan
hatinya tertutup untuk manusia
lain. Keyakinannya yang telah
mencapai roh mahfud, membuat
tingkah lahiriyah mereka tidak
stabil. Mereka bagai orang gila
yang tidak pernah punya rasa
malu terhadap orang lain yang
melihatnya.
Seperti halnya, syeikh Siti Jenar,
beliau banyak menunjukkan
sifat khoarik/ kesaktian ilmunya
yang dipertontonkan didepan
kalayak masyarakat umum.
Sedangkan sunan Kali Jaga
sendiri setiap harinya selalu
menaiki kuda lumping, yang
terbuat dari bahan anyaman
bambu. Sulthan Hasanuddin,
lebih banyak mengeluarkan
fatwa dan selalu menasehati
pada binatang yang dia temui.
Pangeran Panjunan dan
pangeran Kejaksaan, kakak
beradik ini setiap harinya selalu
membawa rebana yang terus
dibunyikan sambil tak henti
hentinya menyanyikan berbagai
lagu cinta untuk tuannya Alloh
SWT, dan syeikh Magelung Sakti,
lebih dominan hari harinya selalu
dimanfaatkan untuk bermain
dengan anak anak.
Lewat perjalanan mereka para
hubbulloh/ zadabiyah/
ingatannya hanya kepada, Alloh
SWT, semata. Tiga tahun
kemudian mereka telah bisa
mengendalikan sifat
kecintaannya dari sifat bangsa
dzat Alloh, kembali kesifat asal,
yaitu syariat dhohir.
Namun diantara mereka yang
kedapatan sifat dzat Alloh ini
hanya syeikh Siti Jenar, yang
tidak mau meninggalkan
kecintaanya untuk tuannya
semata ( Alloh ) Beliau lebih
memilih melestarikan
kecintaannya yang tak bisa
terbendung, sehingga dengan
tidak terkontrol fisik
lahiriyahnya beliau banyak
dimanfaatkan kalangan umum
yang sama sekali tidak mengerti
akan ilmu kewaliyan.
Sebagai seorang waliyulloh yang
sedang menapaki derajat fana ’,
segala ucapan apapun yang
dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar
kala itu akan menjadi nyata, dan
semua ini selalu dimanfaatkan
oleh orang orang culas yang
menginginkan ilmu kesaktiannya
tanpa harus terlebih dahulu
puasa dan ritual yang
memberatkan dirinya.
Dengan dasar ini, orang orang
yang memanfaatkan dirinya
semakin bertambah banyak dan
pada akhirnya mereka membuat
sebuah perkumpulan untuk
melawan para waliyulloh. Dari
kisah ini pula, syeikh Siti Jenar,
berkali kali dipanggil dalam
sidang kewalian untuk cepat
cepat merubah sifatnya yang
banyak dimanfaatkan orang
orang yang tidak bertanggung
jawab, namun beliau tetap
dalam pendiriannya untuk selalu
memegang sifat dzat Alloh.
Bahkan dalam pandangan,
syeikh Siti Jenar sendiri
mengenai perihal orang orang
yang memenfaatkan dirinya,
beliau mengungkapkannya
dalam sidang terhormat para
waliyulloh; “Bagaiman diriku
bisa marah maupun menolak apa
yang diinginkan oleh orang
yang memanfaatkanku, mereka
semua adalah mahluk Alloh, yang
mana setiap apa yang
dikehendaki oleh mereka
terhadap diriku, semua adalah
ketentuanNya juga" lanjutnya.
“Diriku hanya sebagai pelantara
belaka dan segala yang
mengabulkan tak lain dan tak
bukan hanya dialah Alloh
semata . Karena sesungguhnya
adanya diriku adanya dia dan
tidak adanya diriku tidak adanya
dia. Alloh adalah diriku dan
diriku adalah Alloh, dimana
diriku memberi ketentuan disitu
pula Alloh akan
mengabulkannya. Jadi janganlah
salah paham akan ilmu Alloh
sesungguhnya, karena pada
kesempatannya nanti semua
akan kembali lagi kepadaNya."
Dari pembedaran tadi
sebenarnya semua para
waliyulloh, mengerti betul akan
makna yang terkandung dari
seorang yang sedang jatuh cinta
kepada tuhannya, dan semua
waliyulloh yang ada dalam
persidangan kala itu tidak
menyalahkan apa barusan yang
diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.
Hanya saja permasalahannya
kala itu, seluruh para wali
sedang menapaki pemahaman
ilmu bersifat syar ’i sebagai
bahan dasar dari misi syiar islam
untuk disampaikan kepada
seluruh masyarakat luas yang
memang belum mempunyai
keyakinan yang sangat kuat
dalam memasuki pencerahan arti
islam itu sendiri. Wal hasil, semua
para wali pada saat itu merasa
takut akan pemahaman dari
syeikh siti jenar, yang
sepantasnya pemahaman beliau
ini hanya boleh didengar oleh
oleh orang yang sederajat
dengannya, sebab
bagaimanapun juga orang
awam tidak akan bisa mengejar
segala pemahaman yang
dilontarkan oleh syeikh Siti
Jenar.
Sedangkan pada saat itu, syeikh
Siti Jenar yang sedang
kedatangan sifat zadabiyah,
beliau tidak bisa mengerem
ucapannya yang bersifat
ketauhidan, sehingga dengan
cara yang dilakukannya ini
membawa dampak kurang baik
bagi masyarakt luas kala itu.
Nah, untuk menanggulangi sifat
syeikh Siti Jenar ini seluruh para
wali akhirnya memohon
petunjuk kepada Alloh SWT,
tentang suatu penyelesaian atas
dirinya, dan hampir semua para
wali ini mendapat hawatif yang
sama, yaitu :
"Tiada jalan yang lebih baik bagi
orang yang darahnya telah
menyatu dengan tuhannya,
kecuali dia harus cepat cepat
dipertemukan dengan
kekasihnya". Dari hasil hawatif
para waliyulloh, akhirnya syeikh
Siti Jenar dipertemukan dengan
kekasihnya Alloh SWT, lewat
eksekusi pancung. Dan cara ini
bagi syeikh Siti Jenar sendiri
sangat diidamkannya. Karena
baginya, mati adalah
kebahagiaan yang
membawanya kesebuah
kenikmatan untuk selama
lamnya dalam naungan jannatun
na ’im.
Sumber : Idris Nawawi
(mystys.wordpress.com)

Sabtu, 15 Januari 2011

ASAL MULA KANJENG KYAI PLERED

Kala itu, kejayaan Majapahit pun
mulai berangsur redup. Nun … di
Katumenggungan Wilwatikta
yang tenang dan damai, di pagi
nan cerah itu, sang Tumenggung
yang dikaruniai sepasang anak
yang mulai beranjak dewasa,
yakni Raden Sahid dan Dewi
Rasa Wulan memanggil
keduanya untuk menghadap.
Setelah keduanya
menghaturkan sembah bakti,
sang Tumenggung pun berkata;
“ Sahid, sekarang engkau sudah
dewasa. Mulai sekarang, engkau
harus bersiap-siap untuk
menggantikan bila aku sudah
tak mampu lagi
melaksanakannya. ”
“Sebelumnya, aku dan ibumu
berharap agar engkau segera
menikah. Katakanlah, gadis mana
yang selama ini telah menjadi
tambatan hatimu. Nanti aku
yang akan melamarkan
untukmu, ” imbuhnya.
Raden Sahid yang duduk bersila
dengan takzim dan kepala
menunduk sebagai tanda
hormat kepada orang tua, hanya
diam membisu. Hatinya benar-
benar galau. Betapa tidak,
sejatinya, di dalam hati ia
menolak untuk segera menikah.
Tapi apa daya, jika menolak, ia
takut membuat kedua orang
tuanya kecewa.
Padahal dalam hati yang sangat
dalam, beliau menggerutu, belum
siap memikirkan tentang arti
sebuah mahligai rumah tangga.
Di tengah-tengah suasana yang
mencekam itu, mendadak
terdengar suara Tumenggung
Wilwatikta memecah kesunyian;
“ Mengapa engkau diam Sahid?”
“Apakah engkau menolak
permintaanku?” Sambungnya
cepat.
“Ampun … ayahanda,” sahtu
Raden Sahid dengan terbata-
bata, “tak ada maksud hamba
untuk menolaknya.”
“Tetapi mengapa engkau diam
dan tidak segera menjawab,”
potong sang ayah dengan cepat.
“Ampun … ayahanda,” jawab
Raden sahid dengan santun,
“ sampai saat ini, hamba masih
menimbang-nimbang, wanita
mana yang tepat untuk menjadi
menantu ayahanda. ”
Tumenggung Wilwatikta pun
menarik napas lega, “Baiklah
kalau begitu. Pertimbangkan
dengan masak-masak, dan hati-
hati dalam menentukan
jodohmu. ”
Karena dianggap cukup, maka,
Raden Sahid pun diperkenankan
untuk undur diri. Dan kepada
Dewi Rasa Wulan, sang ayah
hanya berpesan agar dirinya
bersiap-siap untuk menerima
pinangan dari pemuda yang
sudah ditetapkan kedua orang
tuanya.
Tanpa berani membantah, Rasa
Wulan pun hanya diam … lalu, ia
pun undur diri dari hadapan
ayahandanya.
Tidak seperti biasanya, keceriaan
yang biasa diperlihatkan
keduanya di kadipaten
mendadak hilang. Hingga malam
menjelang, Raden Sahid masih
disungkupi kegelisahan. Bahkan,
matanya pun tak bisa
dipejamkan walau malam terus
merangkak. Hatinya teramat
sedih …
“Untuk menghindar dari
paksaan ayah, kiranya aku harus
pergi dari sini, ” demikian bisik
hatinya. Dan benar, seiring
dengan malam yang terus
merangkak dan seisi
katumenggungan sedang
terbuai dalam mimpi indahnya
masing-masing, diam-diam
Raden Sahid pun ke luar dari
kamarnya dan pergi ….
Paginya, tatkala Dewi Rasa
Wulan mengetahui bahwa
kakaknya tak ada di kamarnya,
sontak, hatinya pun khawatir.
Dengan harap-harap cemas ia
pun mencari sang kakak di
berbagai penjuru
katumenggungan. Tapi apa
daya, sang kakak seolah lenyap
bak ditelan bumi. Dewi Rasa
Wulan pun yakin, sang kakak
telah pergi meninggalkan
katumenggungan tanpa
meminta izin pada kedua orang
tuanya.
“Mengapa Kangmas Sahid tidak
mengajakku,” bisik hati Rasa
Wulan, “padahal aku juga
bermaksud pergi agar terhindar
dari paksaan ayah. ” Dengan
langkah gontai, Dewi Rasa
Wulan pun masuk ke kamarnya
untuk menyiapkan pakaian dan
langsung menyusul kakaknya.
Waktu terus berlalu. Malamnya,
barulah seisi katumenggungan
heboh. Mereka baru sadar jika
Raden Sahid dan Rasa Wulan
telah pergi tanpa
sepengetahuan orang tuanya.
Mendengar laporan bahwa
kedua anaknya pergi,
Tumenggung Wilatikta pun
terkejut. Dengan cepat ia
memerintahkan seluruh telik
sandi katumenggungan untuk
menelisik keberadaan kedua
anaknya itu.
Tapi apa daya, keduanya seolah
lenyap ditelan bumi. Hari
bergangti minggu dan minggu
berganti bulan bahkan bulan
bergantiu tahun, tapi,
keberadaan keduanya tetap saja
tidak terendus.
Berbilang waktu, dalam
pengembaraannya, Raden Sahid
mengalami pahit dan getirnya
penderitaan serta menghadapi
berbagai macam cobaan hingga
di kemudian hari ia dikenal
sebagai sosok waliyullah yang
sangat masyhur, Khanjeng
Sunan Kalijaga — lewat
bimbingan seorang Waliyulloh
A ’dzom Sunan Bonang, yang
diteruskan kepada Sunan
Gunung Jati, sampai pada
akhirnya mendapat derajat
kewalian secara sempurna lewat
talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga
akhirnya beliau diambil mantu
dan dijadikan tangan kanan
paling setia oleh Sunan Gunung
Jati Cirebon.
Tak jauh berbeda dengan sang
kakak, di dalam
pengembaraannya, setelah
berbilang tahun tidak juga
berhasil menemukan Raden
Sahid, akhirnya, Dewi Rasa
Wulan pun bertapa ngidang
(bertapa seperti kijang, hidup
bersama-sama kawanan kijang
dan mengerjakan apa yang
dikerjakan oleh kijang, termasuk
memakan makanan yang biasa
dimakan oleh kijang-Jw) di
tengah hutan Glagahwangi
(perbatasan Pasundan, Jawa
Barat).
Di dalam hutan nan lebat dan
angker itu terdapat sebuah
danau bernama Sendhang Beji,
yang ditepiannya tumbuh
dengan subur sebatang pohon
besar yang batangnya menjorok
dan menaungi permukaannya.
Dan tak ada yang menyangka
jika pada salah satu cabangnya
yang menjorok ke atas
permukaan Sendhang Beji itu
terdapat seseorang yang sedang
bertapa ngalong (bertapa
seperti kalong, bergantungan
pada cabang pohon-Jw). Ya …
sosok linuwih itu tak lain adalah
Syekh Maulana Mahgribi.
Waktu terus berlalu. Dan pada
suatu nan terik, Rasa Wulan pun
mendatangi Sendhang Beji. Ia
berniat ingin mandi, untuk
menyegarkan badannya. Ia sama
sekali tak tahu jika di atas
permukaan air sendhang itu ada
seorang laki-laki yang sedang
bertapa — dan tanpa malu-malu
Rasa Wulan pun membuka
seluruh pakaian penutup
tubuhnya. Dalam keadaan tanpa
sehelai benang pun, dengan
perlahan-lahan ia berjalan
menghampiri danau dan mandi
di Sendhang Beji. Kesejukan air
danau membuat tubuhnya jadi
terasa sangat nyaman.
Sementara itu, Syekh Maulana
Mahgribi yang sedang bertapa
tepat di atas danau memandang
kemolekan tubuh Rasa Wulan
dengan penuh pesona. Melihat
kecantikan dan kesintalan
tubuhnya, sontak, birahi Syekh
Maulana Mahgribi pun bangkit
hingga meneteskan bibit hidup
(sperma-Jw) dan jatuh tepat
diatas tempat Rasa Wulan
mandi.
Karena peristiwa itu, maka, Rasa
Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa
Wulan pun tahu jika laki-laki
yang bergantungan pada
cabang pohon di atas danau
itulah yang menyebabkan
kehamilannya.
“Mengapa engkau tega berbuat
demikian?” Protes Rasa Wulan
sambil menunjuk sengit ke arah
Syekh Maulana Mahgribi.
“ Mengapa engkau
menghamiliki?”
Syekh Maulana Mahgribi hanya
diam. Ia seakan tidak mendengar
apa-apa.
“Karena telah berbuat, maka,
engkau harus bertanggung
jawab !” Sergah Rasa Wulan
semakin sengit.
“Mengapa engkau menuduhku?”
Tanya Syekh Maulana Mahgribi
dengan sabar.
“Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa
Wulan.
“Engkau yakin jika aku yang
menghamilimu?” Tanya Syekh
Maulana Mahgribi meminta
ketegasan.
“Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa
Wulan tegas.
“Karena di tempat ini tidak ada
laki-laki lain, maka, engkaulah
yang kutuduh menghamiliku,”
imbuhnya dengan berapi-api.
Untuk menghindarkan diri dari
tuduhan itu, Syekh Maulana
Mahgribi pun langsung
mencabut kemaluannya —
kemudian menyingkapkan
sarungnya dan menunjukkan
kepada Rasa Wulan bahwa ia
tidak memiliki kemaluan. Syekh
Maulana Mahgribi pun berujar,
“ Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi
mana mungkin aku
menghamilimu. ”
“Bagaimana pun juga aku tetap
menuduhmu yang
menghamiliku ” kata Rasa Wulan,
“karena itu, engkau harus
bertanggung jawab terhadap
kehidupan bayi yang tengah
kukandung ini. ”
“Aku yang harus bertanggung
jawab?” Tanya Syekh Maulana
Mahgribi.
“Ya. Engkau yang harus
bertanggung jawab,” sahut Rasa
Wulan, “mengasuh dan
memeliharanya kelak setelah
lahir. ”
Syekh Maulana Mahgribi tidak
dapat mengelak. Dan pada
waktunya, setelah anak yang
dikandung oleh Rasa Wulan itu
lahir, maka, si jabang bayi pun
yang diberi nama Kidang
Telangkas pun diserahkan
kepada Syekh Maulana Mahgribi.
Kelak dikemudian hari, secara
turun temurun, keturunan
Kidang Telangkas menjadi raja di
tanah Jawa.
Kembali ke perdebatan sengit
antara Dewi Rasa Wulan dengan
Syekh Maulana Maghribi, saat itu,
ternyata kemaluannya yang
dicabut berubah wujud menjadi
sebilah mata tombak — yang
akhirnya menjadi “sipat
kandel” (senjata andalan) dari
raja-raja Jawa. Dan tombak itu
dinamakan Khanjeng Kyai Plered.
Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu
merupakan salah satu dari
senjata pusaka Keraton
Yogyakarta.
Namun dalam perdebatan lain,
tombak Khanjeng Plered, yang
asli telah raib dan dimiliki oleh
seorang Waliyulloh Kamil, yang
turun temurun selalu dijaga dan
dirawat secara baik, sebab hal
semacam ini sudah menjadi ilmu
Waris bagi ahli generasi sesama
Waliyulloh “Di mana hak yang
terlahir dari seorang waliyulloh,
maka, akan kembali kepada hak
sederajat lainnya ” Juga seperti
maqolahnya Rosululloh SAW:
“ Sesungguhnya hak warisku
akan terpenuhi oleh
keturunanku kelak, dan tiada
kuberikan pengganti kecuali
yang memahamiku, maka
sambutlah pemberianku hingga
kamu menggantikanku ”
“Setiap yang aku miliki (sisa
peninggalan hidup) adalah
bagian wujud kasar yang tiada
berarti dan hakikat sebenarnya
adalah kembali ke yang punya,
maka peliharalah apa yang
menjadi izin langsungku hingga
kau menikmati dengan apa yang
sesungguhnya kau pahami ”

Jumat, 14 Januari 2011

MENGUAK MISTERI MAKAM ISI ULANG

Meski sudah tujuh tahun
dikebumikan, namun jasad dan
kafan almarhum Ustadz H.
Muqim masih utuh. Bahkan ada
juga yang melihat almarhum
turut menyalatkan jenazah sang
ibunda yang wafat tiga pekan
jelang Ramadhan silam.
Karena penyediaan lahan
pemakaman di Jakarta sangat
terbatas, maka pihak pengelola
taman pemakaman umum (TPU)
memberi kelonggaran kepada
warga dengan membolehkan
melakukan pemakaman dengan
cara ditumpuk atau
ditumpangkan ke makam salah
satu anggota keluarganya yang
dimakamkan di pekuburan itu,
alias isi ulang.
Hal demikian juga dialami H.
Darsun. Tiga pekan menjelang
Ramadhan silam (24 Juli 2010),
dia ditinggal istri tercinta untuk
selamanya, yakni' Suminah, yang
juga ibu kandung almarhum
Ustadz H. Muqim Sumarno
(wafat 1 Desember 2003).
Lantaran lahan pemakaman di
TPU Rawa Wadas. Pondok
Kelapa, Jakarta Timur, sudah
penuh maka H. Darsun
memutuskan untuk
memakamkan jenazah
almarhumah Suminah di makam
salah satu putranya, yaitu H.
Muqim.
Dan situlah muncul kabar bahwa
jenazah dan kain kafan
almarhum Ustadz H. Muqim yang
dikebumikan tujuh tahun silam,
masih utuh. Peristiwa tersebut
diketahui H. Darsun setelah salah
satu keponakannya yang tinggal
dekat dengan TPU itu
menanyakan apakah almarhum
Ustadz Muqim hafidz (hafal) Al
Quran?
Menurut penuturan H. Darsun,
almarhum putranya itu tidak
seperti yang dimaksud (hafidz
Al
Quraan). "Kalau memang
jenazahnya masih utuh, ya,ini
kekuasaan Allah,” jelas Ayahanda
H. Muqim di kediamannya,
Pondok Kopi, Jaktim, beberapa
waktu lalu.
Peristiwa itu menggelitik Aham
untuk menelusuri beberapa
sumber yang mengetahui sepak
terjang almarhum Ustadz H.
Muqim semasa hidupnya. Ustadz
Abdul Ghofur meski tidak turut
ke pemakaman, ketika
dikonfirmasi di kediamannya,
meyakini peristiwa tersebut.
Menurutnya, saat Suminah
wafat dia ditugasi H. Darsun
untuk mengimami salat jenazah
bagi almathumah. Kata Pak Dul,
demikian ia biasa disapa, setelah
takbir pertama, dia melihat di
samping kanan ada sosok pria
berjubah putih turut
menyalatkan jenazah
almarhumah Suminah.
"Saat takbir kedua, orang
berjubah putih yang berada di
samping pun ikut takbir, cuma
tidak bersuara. Tapi, begitu saya
melirik ke wajah orang berjubah
putih itu, Yaa Sajiyidii Yaa
Rasulallah! Ternyata dia adalah
(almarhum) Pak Muqim," kata
Pak Dul sontak sesenggukan.
Dia menambahkan, ada
keterangan bahwa bagi orang
yang hafidz Al Quran, saat
meninggal jenazahnya tidak
akan hancur dimakan bumi.
"Secara syariat memang seperti
Itu. Tapi kalau Pak Muqim ini, dia
sudah memperoleh kemuliaan
Rasulullah SAW'' katanya.
Penyantun Anak Yatim
Kalau tidak boleh dikatakan
semua, hampir seluruh sahabat
almarhum Ustadz H. Muqim tidak
menyangsikan ke-tawadhu ’-
annya. Dia selalu menunduk.
Kalau dia sedang bercengkrama,
bapak tiga anak itu -Khusnatun
Nihayah, Anniqotuzzahro dan
Ahmad Mubarok-, jarang terlihat
menatap lawan bicaranya.
Bukan cuma wajah yang
ditundukkan almarhum, tapi
juga hatinya.
Bahkan, menurut keterangan
sumber, saat beliau menjabat
Ketua Yayasan Perjuangan
Wahidiyah (YPW) Jaktim dan
ditunjuk selaku ketua panitia
Mujahadah Nisfussanah. di
Masjid At-Tiin TMII, sempat
menangis ketika teman-teman
panitia memberi penghormatan
dengan membubuhkan gelar
kyai. Kilah almarhum kala itu,
dirinya bukan kyai.
Di samping itu, almarhum Ustadz
H. Muqim adalah orang yang
sangat bersyukur ditakdirkan
Allah sebagai pengamal
Wahidiyah. "Tapi saya sering
khawatir apakah Wahidiyah
masih terus kita pegang sampai
akhir hayat kita?" kata
almarhum kepada Aham dalam
sebuah perbincangan kala itu.
Kesalehan almarhum bukan
cuma diketahui di kalangan
pengamal Wahidiyah. H.
Rohmatulloh, pengelola salah
satu Madrasah Ibtidaiyah (MI) di
Malaka, Jaktim, tempat Ustadz H.
Muqim mengajar, pun
mengakuinya. Perihal tersebut
diungkap H. Rohmat, begitu dia
disapa, tatkala memberi
sambutan pada upacara
pelepasan jenazah almarhum di
sebuah masjid di Pondok Kopi,
tujuh tahun lalu.
"Menurut saya untuk mencari
seribu orang yang lebih pintar
dari Ustadz Muqim, itu gampang.
Tapi kalau mencari orang bener
seperti almarhum, saya rasa sulit
sekali," terang H. Rohmat di
hadapan para pelayat yang
hendak turut menyalatkan
jenazah.
Yang luar biasa dari almarhum,
masih kata H. Rohmat, ialah
perhatiannya kepada anak
yatim. Dia menambahkan,
seandainya honor (gaji) dari
madrasah yang diberikan tiap
bulan langsung dibawa
semuanya oleh almarhum Ustadz
Muqim ke rumah, menurutnya
tidak bakal cukup untuk
menutupi kebutuhan
keluarganya.
"Tapi karena dia tahu saya
merawat anak yatim, maka
sebelum dibawa ke rumah
amplop tersebut dia sobek dan
dia sisihkan buat anak yatim
saya," ungkapnya sesaat
sebelum jenazah almarhum
dibawa menuju pemakaman.
Istri mendiang Ustadz Muqim, Sri
Nurul Komariah saat ditelisik
membenarkan sikap suaminya
itu, Menurutnya, sekalipun untuk
keluarga masih kurang, tapi
kalau ada orang yang meminta
untuk anak yatim, selalu ada
saja. "Kalau bapaknya masih ada,
(dia) tidak mau masalah ini
diceritakan," tutur ibu tiga anak
itu seraya menyeka air mata.
Dia menyebutkan, beberapa :
waktu sebelum wafat,
almarhum juga pernah mengajak
beberapa temannya untuk ikut
urunan membiayai anak yatim
dari salah satu sahabatnya. "Tapi
keburu Allah memanggilnya,"
tambah Bu Muqim, begitu dia
kerap disapa. ,
Menurut Aisyah, adik kandung
almarhum, beberapa saat
sebelum H. Muqim
menghembuskan nafas terakhir,
Nihayah, putri sulungnya
melihat almarhum berjalan
didampingi Romo KH. Abdul Latif
Majid RA dan Mbah KH. Abdul
Majid Ma'ruf, muallif Shalawat
Wahidiyah QS wa RA.
Tergantung Amal
Menurut keterangan Roji dan
Hasan yang berprofesi sebagai
tukang gali dan perawatan
makam di TPU Rawa Wadas itu,
kondisi dan prosesi pemakaman
jenazah itu, biasanya bisa dilihat
dari bagaimana amal dan
perbuatan yang bersangkutan
semasa hidup.
Kedua orang yang mengaku ikut
menggali makam ustadz H.
Muqim untuk pemakaman
almarhumah Ruminah itu,
mengaku mudah mengayunkan
mata cangkul ke arah makam.
"Tidak sampai satu jam sudah
kelar," aku Roji. Hasan
menambahkan, itu bukan karena
di situ memang sudah ada
jenazahnya, tapi memang
kebetulan gampang. "Soalnya
banyak juga kuburan yang
ditumpangi, keras waktu digali,"
ujarnya.
Tatkala disinggung soal
keberadaan jenazah almarhum H.
Muqim, Roji menyebutkan
kondisinya memang masih utuh,
tidak berantakan. "Bahkan kain
kafannya juga masih bersih,"
ungkapnya. Meski begitu dia
tidak berani memastikan apakah
jenazahnya masih utuh atau
tidak, karena mereka segera
menata kembali posisi jenazah
almarhum Ustadz Muqim.
Soal membongkar makam, Hasan
ternyata menyimpan banyak
pengalaman. Mulai membongkar
makam nonmuslim hingga
makam seorang kyai pernah ia ,
lakukan. Diungkap Hasan saat
sebagian pemakaman yang
letaknya tidak jauh dari TPU
Rawa Wadas kena proyek Banjir
Kanal Timur (BKT), dia ikut
membongkar makam seorang
kyai. Menurut penuturannya
kyai tersebut adalah orang yang
membangun masjid yang juga
ikut tergusur proyek BKT.
Kata Hasan, saat makam kyai
dibongkar, jenazahnya sudah
menjadi tulang belulang.
Sedangkan yang masih kelihatan
utuh cuma sorban yang melilit di
kerangka kepala. Di bagian perut,
lanjutnya, ada gumpalan sebesar
helm seperti karang.
"Menurut saya, itu isi perut yang
sudah keras menjadi karang,"
kata Hasan. Kendati begitu
diakui Hasan bahwa
pendapatnya tadi memang
berbeda dengan penilaian salah
satu cucu kyai yang makamnya
dibongkar itu. Karena, menurut
sang cucu kyai, benda tersebut
adalah sarang rayap. Al
Dikutip dari : Majalah Aham Edisi
92/Th.X/Dzulhijjah 1431 terbitan
Yayasan Perjuangan Wahidiyah
dan Pondok Pesantren Kedunglo