Photobucket

Minggu, 16 Januari 2011

MENGUNGKAP JATI DIRI SYEIKH SITI JENAR

Merajut sebuah ilmu dan
menjadikannya sehelai kain
yang didalamnya penuh akan
keindahan corak dan warna,
inilah yang diidamkan seluruh
ahli sufi. Rajutan demi rajutan
tentang segala pemahaman ilmu,
penghayatan dan keluasan
tentang segala kebesaran Alloh,
perjalanan dan pengorbanan
yang selalu dilakoninnya sedari
kecil, membuat segala macam
ilmu yang ada padanya,
menjadikannya derajat seorang
waliyulloh kamil.
Dalam pandangan para
waliyulloh, dimana badan telah
tersirat asma ’ Alloh dan segala
tetesan darahnya telah mengalir
kalimat tauhid, dimana setiap
detak jantung selalu
menyerukan keagunganNya dan
setiap pandangan matanya
mengandung makna tafakkur,
tiada lain orang itu adalah
seorang waliyulloh agung yang
mana jasad dan ruhaniyahnya
telah menyatu dengan dzat
Alloh. Inilah sanjungan yang
dilontarkan oleh seluruh bangsa
wali kala itu pada sosok, kanjeng
Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang
tersiram didalam tubuhnya, ilmu
yang tersirat disetiap desiran
nafasnya, pengetahuan tentang
segala makna ketauhidan yang
bersemayam didalam akal dan
hatinya, membuat kanjeng
Syeikh Siti Jenar menjadi
seorang guru para wali.
Lewat kezuhudan yang beliau
miliki serta keluasan ilmu yang
dia terapkan, membuat segala
pengetahuannya selalu dijadikan
contoh. Beliau benar benar
seorang guru agung dalam
mengembangkan sebuah
dhaukiyah kewaliyan/tentang
segala pemahaman ilmu
kewaliyan. Tak heran bila kala itu
banyak bermunculan para
waliyulloh lewat ajaran ilafi
yang dimilikinya.
Diantara beberapa nama santri
beliau yang hingga akhir
hayatnya telah sampai kepuncak
derajat waliyulloh kamil, salah
satunya, sunan Kali Jaga, raden
Fatah, kibuyut Trusmi, kigede
Plumbon, kigede Arjawinangun,
pangeran Arya Kemuning,
kiageng Demak Purwa Sari, ratu
Ilir Pangabean, gusti agung Arya
diningrat Caruban, Pangeran
Paksi Antas Angin, sunan Muria,
tubagus sulthan Hasanuddin,
kiAgeng Bimantoro Jati,
kiSubang Arya palantungan dan
kigede Tegal gubug.
Seiring perjalanannya sebagai
guru para wali, syeikh Siti Jenar
mulai menyudahi segala aktifitas
mengajarnya tatkala, Syarief
Hidayatulloh/ sunan Gunung Jati,
telah tiba dikota Cirebon. Bahkan
dalam hal ini bukan hanya beliau
yang menyudahi aktifitas
mengajar pada saat itu,
dedengkot wali Jawa, sunan
Ampel dan sunan Giri juga
mengakhirinya pula.
Mereka semua ta’dzim
watahriman/ menghormati
derajat yang lebih diagungkan,
atas datangnya seorang Quthbul
muthlak/ raja wali sedunia pada
zaman tersebut, yaitu dengan
adanya Syarief Hidayatulloh,
yang sudah menetap dibumi
tanah Jawa.
Sejak saat itu pula semua wali
sejawa dwipa, mulai
berbondong ngalaf ilmu datang
kekota Cirebon, mereka jauh
jauh sudah sangat
mendambakan kedatangan,
Syarief Hidayatulloh, yang
ditunjuk langsung oleh,
rosululloh SAW, menjadi sulthan
semua mahluk ( Quthbul
muthlak )
Nah, sebelum di kupas tuntas
tentang jati diri, syeikh Siti Jenar,
tentunya kita agak merasa
bingung tentang jati diri, Syarief
Hidayatulloh, yang barusan
dibedarkan tadi. "Mengapa
Syarief Hidayatulloh kala itu
sangat disanjung oleh seluruh
bangsa wali ?".
Dalam tarap kewaliyan, semua
para waliyulloh, tanpa terkecuali
mereka semua sudah sangat
memahami akan segala
tingkatan yang ada pada
dirinya. Dan dalam tingkatan ini
tidak satupun dari mereka yang
tidak tahu, akan segala derajat
yang dimiliki oleh wali lainnya.
Semua ini karena Alloh SWT, jauh
jauh telah memberi hawatief
pada setiap diri para waliyulloh,
tentang segala hal yang
menyangkut derajat kewaliyan
seseorang.
Nah, sebagai pemahaman yang
lebih jelas, dimana Alloh SWT,
menunjuk seseorang
menjadikannya derajat
waliyulloh, maka pada waktu
yang bersamaan, nabiyulloh,
Hidir AS, yang diutus langsung
oleh malaikat, Jibril AS, akan
mengabarkannya kepada
seluruh para waliyulloh lainnya
tentang pengangkatan wali
yang barusan ditunjuk tadi
sekaligus dengan derajat yang
diembannya.
Disini akan dituliskan tingkatan
derajat kewaliyan seseorang,
dimulai dari tingkat yang paling
atas. "Quthbul muthlak- Athman-
Arba ’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’
– Nujaba’ – Abdal- dan
seterusnya". Nah dari
pembedaran ini wajar bila saat
itu seluruh wali Jawa
berbondong datang ngalaf ilmu
ketanah Cirebon, karena tak lain
didaerah tersebut telah
bersemayam seorang derajat,
Quthbul muthlak, yang sangat
dimulyakan akan derajat dan
pemahaman ilmunya.
Kembali kecerita syeikh Siti
Jenar, sejak adanya, Syarief
Hidayatulloh, yang telah
memegang penting dalam
peranan kewaliyan, hampir
seluruh wali kala itu belajar arti
ma’rifat kepadanya, diantara
salah satunya adalah, syeikh Siti
Jenar sendiri.
Empat tahun para wali ikut
bersamanya dalam “Husnul ilmi
Al kamil"/ menyempurnakan
segala pemahaman ilmu, dan
setelah itu, Syarief Hidayulloh,
menyarankan pada seluruh para
wali untuk kembali ketempat
asalnya masing masing. Mereka
diwajibkan untuk membuka
kembali pengajian secara umum
sebagai syiar islam secara
menyeluruh.
Tentunya empat tahun bukan
waktu yang sedikit bagi para
wali kala itu, mereka telah
menemukan jati diri ilmu yang
sesungguhnya lewat keluasan
yang diajarkan oleh seorang
derajat, Quthbul mutlak.
Sehingga dengan kematangan
yang mereka peroleh, tidak
semua dari mereka membuka
kembali pesanggrahannya.
Banyak diantara mereka yang
setelah mendapat pelajaran dari,
Syarief Hidayatulloh, segala
kecintaan ilmunya lebih
diarahkan kesifat, Hubbulloh/
hanya cinta dan ingat kepada
Alloh semata. Hal seperti ini
terjadi dibeberapa pribadi para
wali kala itu, diantaranya; syeikh
Siti Jenar, sunan Kali Jaga,
sulthan Hasanuddin Banten,
pangeran Panjunan, pangeran
Kejaksan dan Syeikh Magelung
Sakti.
Mereka lebih memilih hidup
menyendiri dalam kecintaannya
terhadap Dzat Alloh SWT,
sehingga dengan cara yang
mereka lakukan menjadikan
hatinya tertutup untuk manusia
lain. Keyakinannya yang telah
mencapai roh mahfud, membuat
tingkah lahiriyah mereka tidak
stabil. Mereka bagai orang gila
yang tidak pernah punya rasa
malu terhadap orang lain yang
melihatnya.
Seperti halnya, syeikh Siti Jenar,
beliau banyak menunjukkan
sifat khoarik/ kesaktian ilmunya
yang dipertontonkan didepan
kalayak masyarakat umum.
Sedangkan sunan Kali Jaga
sendiri setiap harinya selalu
menaiki kuda lumping, yang
terbuat dari bahan anyaman
bambu. Sulthan Hasanuddin,
lebih banyak mengeluarkan
fatwa dan selalu menasehati
pada binatang yang dia temui.
Pangeran Panjunan dan
pangeran Kejaksaan, kakak
beradik ini setiap harinya selalu
membawa rebana yang terus
dibunyikan sambil tak henti
hentinya menyanyikan berbagai
lagu cinta untuk tuannya Alloh
SWT, dan syeikh Magelung Sakti,
lebih dominan hari harinya selalu
dimanfaatkan untuk bermain
dengan anak anak.
Lewat perjalanan mereka para
hubbulloh/ zadabiyah/
ingatannya hanya kepada, Alloh
SWT, semata. Tiga tahun
kemudian mereka telah bisa
mengendalikan sifat
kecintaannya dari sifat bangsa
dzat Alloh, kembali kesifat asal,
yaitu syariat dhohir.
Namun diantara mereka yang
kedapatan sifat dzat Alloh ini
hanya syeikh Siti Jenar, yang
tidak mau meninggalkan
kecintaanya untuk tuannya
semata ( Alloh ) Beliau lebih
memilih melestarikan
kecintaannya yang tak bisa
terbendung, sehingga dengan
tidak terkontrol fisik
lahiriyahnya beliau banyak
dimanfaatkan kalangan umum
yang sama sekali tidak mengerti
akan ilmu kewaliyan.
Sebagai seorang waliyulloh yang
sedang menapaki derajat fana ’,
segala ucapan apapun yang
dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar
kala itu akan menjadi nyata, dan
semua ini selalu dimanfaatkan
oleh orang orang culas yang
menginginkan ilmu kesaktiannya
tanpa harus terlebih dahulu
puasa dan ritual yang
memberatkan dirinya.
Dengan dasar ini, orang orang
yang memanfaatkan dirinya
semakin bertambah banyak dan
pada akhirnya mereka membuat
sebuah perkumpulan untuk
melawan para waliyulloh. Dari
kisah ini pula, syeikh Siti Jenar,
berkali kali dipanggil dalam
sidang kewalian untuk cepat
cepat merubah sifatnya yang
banyak dimanfaatkan orang
orang yang tidak bertanggung
jawab, namun beliau tetap
dalam pendiriannya untuk selalu
memegang sifat dzat Alloh.
Bahkan dalam pandangan,
syeikh Siti Jenar sendiri
mengenai perihal orang orang
yang memenfaatkan dirinya,
beliau mengungkapkannya
dalam sidang terhormat para
waliyulloh; “Bagaiman diriku
bisa marah maupun menolak apa
yang diinginkan oleh orang
yang memanfaatkanku, mereka
semua adalah mahluk Alloh, yang
mana setiap apa yang
dikehendaki oleh mereka
terhadap diriku, semua adalah
ketentuanNya juga" lanjutnya.
“Diriku hanya sebagai pelantara
belaka dan segala yang
mengabulkan tak lain dan tak
bukan hanya dialah Alloh
semata . Karena sesungguhnya
adanya diriku adanya dia dan
tidak adanya diriku tidak adanya
dia. Alloh adalah diriku dan
diriku adalah Alloh, dimana
diriku memberi ketentuan disitu
pula Alloh akan
mengabulkannya. Jadi janganlah
salah paham akan ilmu Alloh
sesungguhnya, karena pada
kesempatannya nanti semua
akan kembali lagi kepadaNya."
Dari pembedaran tadi
sebenarnya semua para
waliyulloh, mengerti betul akan
makna yang terkandung dari
seorang yang sedang jatuh cinta
kepada tuhannya, dan semua
waliyulloh yang ada dalam
persidangan kala itu tidak
menyalahkan apa barusan yang
diucapkan oleh, syeikh Siti Jenar.
Hanya saja permasalahannya
kala itu, seluruh para wali
sedang menapaki pemahaman
ilmu bersifat syar ’i sebagai
bahan dasar dari misi syiar islam
untuk disampaikan kepada
seluruh masyarakat luas yang
memang belum mempunyai
keyakinan yang sangat kuat
dalam memasuki pencerahan arti
islam itu sendiri. Wal hasil, semua
para wali pada saat itu merasa
takut akan pemahaman dari
syeikh siti jenar, yang
sepantasnya pemahaman beliau
ini hanya boleh didengar oleh
oleh orang yang sederajat
dengannya, sebab
bagaimanapun juga orang
awam tidak akan bisa mengejar
segala pemahaman yang
dilontarkan oleh syeikh Siti
Jenar.
Sedangkan pada saat itu, syeikh
Siti Jenar yang sedang
kedatangan sifat zadabiyah,
beliau tidak bisa mengerem
ucapannya yang bersifat
ketauhidan, sehingga dengan
cara yang dilakukannya ini
membawa dampak kurang baik
bagi masyarakt luas kala itu.
Nah, untuk menanggulangi sifat
syeikh Siti Jenar ini seluruh para
wali akhirnya memohon
petunjuk kepada Alloh SWT,
tentang suatu penyelesaian atas
dirinya, dan hampir semua para
wali ini mendapat hawatif yang
sama, yaitu :
"Tiada jalan yang lebih baik bagi
orang yang darahnya telah
menyatu dengan tuhannya,
kecuali dia harus cepat cepat
dipertemukan dengan
kekasihnya". Dari hasil hawatif
para waliyulloh, akhirnya syeikh
Siti Jenar dipertemukan dengan
kekasihnya Alloh SWT, lewat
eksekusi pancung. Dan cara ini
bagi syeikh Siti Jenar sendiri
sangat diidamkannya. Karena
baginya, mati adalah
kebahagiaan yang
membawanya kesebuah
kenikmatan untuk selama
lamnya dalam naungan jannatun
na ’im.
Sumber : Idris Nawawi
(mystys.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar