Photobucket

Sabtu, 15 Januari 2011

ASAL MULA KANJENG KYAI PLERED

Kala itu, kejayaan Majapahit pun
mulai berangsur redup. Nun … di
Katumenggungan Wilwatikta
yang tenang dan damai, di pagi
nan cerah itu, sang Tumenggung
yang dikaruniai sepasang anak
yang mulai beranjak dewasa,
yakni Raden Sahid dan Dewi
Rasa Wulan memanggil
keduanya untuk menghadap.
Setelah keduanya
menghaturkan sembah bakti,
sang Tumenggung pun berkata;
“ Sahid, sekarang engkau sudah
dewasa. Mulai sekarang, engkau
harus bersiap-siap untuk
menggantikan bila aku sudah
tak mampu lagi
melaksanakannya. ”
“Sebelumnya, aku dan ibumu
berharap agar engkau segera
menikah. Katakanlah, gadis mana
yang selama ini telah menjadi
tambatan hatimu. Nanti aku
yang akan melamarkan
untukmu, ” imbuhnya.
Raden Sahid yang duduk bersila
dengan takzim dan kepala
menunduk sebagai tanda
hormat kepada orang tua, hanya
diam membisu. Hatinya benar-
benar galau. Betapa tidak,
sejatinya, di dalam hati ia
menolak untuk segera menikah.
Tapi apa daya, jika menolak, ia
takut membuat kedua orang
tuanya kecewa.
Padahal dalam hati yang sangat
dalam, beliau menggerutu, belum
siap memikirkan tentang arti
sebuah mahligai rumah tangga.
Di tengah-tengah suasana yang
mencekam itu, mendadak
terdengar suara Tumenggung
Wilwatikta memecah kesunyian;
“ Mengapa engkau diam Sahid?”
“Apakah engkau menolak
permintaanku?” Sambungnya
cepat.
“Ampun … ayahanda,” sahtu
Raden Sahid dengan terbata-
bata, “tak ada maksud hamba
untuk menolaknya.”
“Tetapi mengapa engkau diam
dan tidak segera menjawab,”
potong sang ayah dengan cepat.
“Ampun … ayahanda,” jawab
Raden sahid dengan santun,
“ sampai saat ini, hamba masih
menimbang-nimbang, wanita
mana yang tepat untuk menjadi
menantu ayahanda. ”
Tumenggung Wilwatikta pun
menarik napas lega, “Baiklah
kalau begitu. Pertimbangkan
dengan masak-masak, dan hati-
hati dalam menentukan
jodohmu. ”
Karena dianggap cukup, maka,
Raden Sahid pun diperkenankan
untuk undur diri. Dan kepada
Dewi Rasa Wulan, sang ayah
hanya berpesan agar dirinya
bersiap-siap untuk menerima
pinangan dari pemuda yang
sudah ditetapkan kedua orang
tuanya.
Tanpa berani membantah, Rasa
Wulan pun hanya diam … lalu, ia
pun undur diri dari hadapan
ayahandanya.
Tidak seperti biasanya, keceriaan
yang biasa diperlihatkan
keduanya di kadipaten
mendadak hilang. Hingga malam
menjelang, Raden Sahid masih
disungkupi kegelisahan. Bahkan,
matanya pun tak bisa
dipejamkan walau malam terus
merangkak. Hatinya teramat
sedih …
“Untuk menghindar dari
paksaan ayah, kiranya aku harus
pergi dari sini, ” demikian bisik
hatinya. Dan benar, seiring
dengan malam yang terus
merangkak dan seisi
katumenggungan sedang
terbuai dalam mimpi indahnya
masing-masing, diam-diam
Raden Sahid pun ke luar dari
kamarnya dan pergi ….
Paginya, tatkala Dewi Rasa
Wulan mengetahui bahwa
kakaknya tak ada di kamarnya,
sontak, hatinya pun khawatir.
Dengan harap-harap cemas ia
pun mencari sang kakak di
berbagai penjuru
katumenggungan. Tapi apa
daya, sang kakak seolah lenyap
bak ditelan bumi. Dewi Rasa
Wulan pun yakin, sang kakak
telah pergi meninggalkan
katumenggungan tanpa
meminta izin pada kedua orang
tuanya.
“Mengapa Kangmas Sahid tidak
mengajakku,” bisik hati Rasa
Wulan, “padahal aku juga
bermaksud pergi agar terhindar
dari paksaan ayah. ” Dengan
langkah gontai, Dewi Rasa
Wulan pun masuk ke kamarnya
untuk menyiapkan pakaian dan
langsung menyusul kakaknya.
Waktu terus berlalu. Malamnya,
barulah seisi katumenggungan
heboh. Mereka baru sadar jika
Raden Sahid dan Rasa Wulan
telah pergi tanpa
sepengetahuan orang tuanya.
Mendengar laporan bahwa
kedua anaknya pergi,
Tumenggung Wilatikta pun
terkejut. Dengan cepat ia
memerintahkan seluruh telik
sandi katumenggungan untuk
menelisik keberadaan kedua
anaknya itu.
Tapi apa daya, keduanya seolah
lenyap ditelan bumi. Hari
bergangti minggu dan minggu
berganti bulan bahkan bulan
bergantiu tahun, tapi,
keberadaan keduanya tetap saja
tidak terendus.
Berbilang waktu, dalam
pengembaraannya, Raden Sahid
mengalami pahit dan getirnya
penderitaan serta menghadapi
berbagai macam cobaan hingga
di kemudian hari ia dikenal
sebagai sosok waliyullah yang
sangat masyhur, Khanjeng
Sunan Kalijaga — lewat
bimbingan seorang Waliyulloh
A ’dzom Sunan Bonang, yang
diteruskan kepada Sunan
Gunung Jati, sampai pada
akhirnya mendapat derajat
kewalian secara sempurna lewat
talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga
akhirnya beliau diambil mantu
dan dijadikan tangan kanan
paling setia oleh Sunan Gunung
Jati Cirebon.
Tak jauh berbeda dengan sang
kakak, di dalam
pengembaraannya, setelah
berbilang tahun tidak juga
berhasil menemukan Raden
Sahid, akhirnya, Dewi Rasa
Wulan pun bertapa ngidang
(bertapa seperti kijang, hidup
bersama-sama kawanan kijang
dan mengerjakan apa yang
dikerjakan oleh kijang, termasuk
memakan makanan yang biasa
dimakan oleh kijang-Jw) di
tengah hutan Glagahwangi
(perbatasan Pasundan, Jawa
Barat).
Di dalam hutan nan lebat dan
angker itu terdapat sebuah
danau bernama Sendhang Beji,
yang ditepiannya tumbuh
dengan subur sebatang pohon
besar yang batangnya menjorok
dan menaungi permukaannya.
Dan tak ada yang menyangka
jika pada salah satu cabangnya
yang menjorok ke atas
permukaan Sendhang Beji itu
terdapat seseorang yang sedang
bertapa ngalong (bertapa
seperti kalong, bergantungan
pada cabang pohon-Jw). Ya …
sosok linuwih itu tak lain adalah
Syekh Maulana Mahgribi.
Waktu terus berlalu. Dan pada
suatu nan terik, Rasa Wulan pun
mendatangi Sendhang Beji. Ia
berniat ingin mandi, untuk
menyegarkan badannya. Ia sama
sekali tak tahu jika di atas
permukaan air sendhang itu ada
seorang laki-laki yang sedang
bertapa — dan tanpa malu-malu
Rasa Wulan pun membuka
seluruh pakaian penutup
tubuhnya. Dalam keadaan tanpa
sehelai benang pun, dengan
perlahan-lahan ia berjalan
menghampiri danau dan mandi
di Sendhang Beji. Kesejukan air
danau membuat tubuhnya jadi
terasa sangat nyaman.
Sementara itu, Syekh Maulana
Mahgribi yang sedang bertapa
tepat di atas danau memandang
kemolekan tubuh Rasa Wulan
dengan penuh pesona. Melihat
kecantikan dan kesintalan
tubuhnya, sontak, birahi Syekh
Maulana Mahgribi pun bangkit
hingga meneteskan bibit hidup
(sperma-Jw) dan jatuh tepat
diatas tempat Rasa Wulan
mandi.
Karena peristiwa itu, maka, Rasa
Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa
Wulan pun tahu jika laki-laki
yang bergantungan pada
cabang pohon di atas danau
itulah yang menyebabkan
kehamilannya.
“Mengapa engkau tega berbuat
demikian?” Protes Rasa Wulan
sambil menunjuk sengit ke arah
Syekh Maulana Mahgribi.
“ Mengapa engkau
menghamiliki?”
Syekh Maulana Mahgribi hanya
diam. Ia seakan tidak mendengar
apa-apa.
“Karena telah berbuat, maka,
engkau harus bertanggung
jawab !” Sergah Rasa Wulan
semakin sengit.
“Mengapa engkau menuduhku?”
Tanya Syekh Maulana Mahgribi
dengan sabar.
“Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa
Wulan.
“Engkau yakin jika aku yang
menghamilimu?” Tanya Syekh
Maulana Mahgribi meminta
ketegasan.
“Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa
Wulan tegas.
“Karena di tempat ini tidak ada
laki-laki lain, maka, engkaulah
yang kutuduh menghamiliku,”
imbuhnya dengan berapi-api.
Untuk menghindarkan diri dari
tuduhan itu, Syekh Maulana
Mahgribi pun langsung
mencabut kemaluannya —
kemudian menyingkapkan
sarungnya dan menunjukkan
kepada Rasa Wulan bahwa ia
tidak memiliki kemaluan. Syekh
Maulana Mahgribi pun berujar,
“ Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi
mana mungkin aku
menghamilimu. ”
“Bagaimana pun juga aku tetap
menuduhmu yang
menghamiliku ” kata Rasa Wulan,
“karena itu, engkau harus
bertanggung jawab terhadap
kehidupan bayi yang tengah
kukandung ini. ”
“Aku yang harus bertanggung
jawab?” Tanya Syekh Maulana
Mahgribi.
“Ya. Engkau yang harus
bertanggung jawab,” sahut Rasa
Wulan, “mengasuh dan
memeliharanya kelak setelah
lahir. ”
Syekh Maulana Mahgribi tidak
dapat mengelak. Dan pada
waktunya, setelah anak yang
dikandung oleh Rasa Wulan itu
lahir, maka, si jabang bayi pun
yang diberi nama Kidang
Telangkas pun diserahkan
kepada Syekh Maulana Mahgribi.
Kelak dikemudian hari, secara
turun temurun, keturunan
Kidang Telangkas menjadi raja di
tanah Jawa.
Kembali ke perdebatan sengit
antara Dewi Rasa Wulan dengan
Syekh Maulana Maghribi, saat itu,
ternyata kemaluannya yang
dicabut berubah wujud menjadi
sebilah mata tombak — yang
akhirnya menjadi “sipat
kandel” (senjata andalan) dari
raja-raja Jawa. Dan tombak itu
dinamakan Khanjeng Kyai Plered.
Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu
merupakan salah satu dari
senjata pusaka Keraton
Yogyakarta.
Namun dalam perdebatan lain,
tombak Khanjeng Plered, yang
asli telah raib dan dimiliki oleh
seorang Waliyulloh Kamil, yang
turun temurun selalu dijaga dan
dirawat secara baik, sebab hal
semacam ini sudah menjadi ilmu
Waris bagi ahli generasi sesama
Waliyulloh “Di mana hak yang
terlahir dari seorang waliyulloh,
maka, akan kembali kepada hak
sederajat lainnya ” Juga seperti
maqolahnya Rosululloh SAW:
“ Sesungguhnya hak warisku
akan terpenuhi oleh
keturunanku kelak, dan tiada
kuberikan pengganti kecuali
yang memahamiku, maka
sambutlah pemberianku hingga
kamu menggantikanku ”
“Setiap yang aku miliki (sisa
peninggalan hidup) adalah
bagian wujud kasar yang tiada
berarti dan hakikat sebenarnya
adalah kembali ke yang punya,
maka peliharalah apa yang
menjadi izin langsungku hingga
kau menikmati dengan apa yang
sesungguhnya kau pahami ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar